Air itu kekayaan tak terhingga, bisa membuat makmur sebuah desa karena mampu menghidupkan ladang dan perkebunan dan yang pasti air juga mampu membuat bahagia. Tanpa air, kehidupan takkan berotasi, karena itulah air sering menjadi permasalahan dunia, dan menjadi permasalahan kehidupan.
Kondisi yang riang gembira itu terlihat di desa Cempaga, warga tampak begitu senang mengambil air bersih di beberapa titik yang baru terpasang. Desa Cempaga yang masuk dalam kawasan Bali Aga di Kecamatan Banjar selama puluhan tahun selalu alami krisis air bersih.
Krisis air bersih itu tidak saja terjadi di musim kemarau, namun kadang di musim hujan pula. Selama krisis air bersih, warga di desa ini selalu membeli air bersih dalam jumlah banyak, satu gallon berisi sekitar 50 kubik air. 50 kubik air itu bisa dipakai selama satu minggu untuk keperluan rumah tangga.
“Sekarang sudah banyak air, kami warga desa merasa bahagia. Bertahun-tahun kami tidak pernah mendapatkan air bersih seperti ini,” kata seorang warga perempuan, Luh Supadmi.
Kini, air bersih sudah masuk desa. Warga bersukacita. Walaupun air bersih belum mengalir ke rumah-rumah penduduk, dan baru di beberapa titik di pinggir jalan desa dengan lairan pipa induk.
Ada cerita perjuangan yang panjang untuk bisa membebaskan warga dari krisis air bersih di Desa Cempaga.
Perjuangan yang sebenarnya melelahkan untuk menaikkan porsi air menuju desa dari sumber air Pejanan. Pejanan itu nama sebuah lokasi di Desa Cempaga yang berada di kedalaman tebing sekitar 350 meter.
Dari kedalaman itu, air diangkat dengan menggunakan mesin pompa air dengan menggunakan kekuatan listrik. Karena ini sebuah perjuangan, air bersih ini mampu mengalir ke desa Cempaga.
“Beruntung saja tim kami tidak cepat bosan, memang ada yang meboya kan biasa itu di desa. Tetapi saya sudah bertekad, jika air tidak sampai naik ke desa, saya siap turun dari jabatan perbekel,” ucap Perbekel Cempaga, Putu Suarjaya.
Suarjaya juga mengaku menjadi saksi hidup dalam penantian panjang air bersih di Cempaga. “Saya sejak lahir sudah menemui kondisi krisis air, sampai kemarin air ini bisa masuk desa, ini bukan pekerjaan mudah,” ucapnya.
Walaupun saat ini dimudahkan dengan teknologi untuk mengangkat sumber air dari kedalaman 350 meter, namun kendala medan menuju sumber air menjadi tantangan terberat. Warga berjibaku membawa peralatan semacam pipa berpuluh-puluh meter, serta bahan lainnya.
Suarjaya menjelaskan, perjuangan untuk memerdekakan warga dari krisis air bersih dimulai dari tahun 2017. Kala itu, Pemerintah memberikan bantuan program Pamsimas (Penyediaan air minum dan sanitasi berbasis masyarakat). Program ini ditelorkan dari dana APBN Pemerintah Pusat dan dana pendamping oleh Pemerintah Kabupaten Buleleng. Total nilai bantuan kala itu senilai 700 juta lebih dalam bentuk bangunan bak penampung air. Bantuan Pamsimas itu untuk dua desa yakni Desa Cempaga dan Desa Sidatapa.
Untuk lebih memaksimalkan Pamsimas, dua desa yakni Desa Cempaga dan Desa Sidatapa beritikad untuk memaksimalkan bantuan tersebut. Akhirnya, kedua desa kala itu dibawah kepemimpinan Putu Suarjaya sebagai Perbekel Desa Cempaga (Masih sampai kini) dan Perbekel Desa Sidatapa (Putu Gede sekarang sebagai anggota DPRD Buleleng) berinisiatif untuk memaksimalkan distrbusi air bersih bagi warga kedua desa. Di Desa Sidatapa, program ini dilanjutkan oleh Perbekel, Ketut Budiasa.
“Selama tahun 2017 sampai 2019, kami menggunakan dana desa secara bertahap sesuai dengan tahun anggaran untuk menaikkan sumber air Pejanan ke desa kami.” kata Suarjaya. Dana dari APBDes Cempaga yang digelontorkan selama tiga tahap dari tahun 2017-2019 mencapai 1 miliar.
Menurut Suarjaya, mesin pompa dengan kekuatan pompa 42 kubik perjam. Mampu mengaliri untuk 2000 kepala keluarga di dua desa.
Kekuatan listrik yang dimanfaatkan mencapai 131 KW untuk dua mesin pompa yang ada di sumber air dan mesin pompa di bak penampungan kedua. Untuk mengangkat air menggunakan pompa itu, satu pompa air bisa menggunakan kekuatan listrik hingga 34 KW pada saat pertma mesin dihidupkan. Setelah mesin pompa hidup selama 3 menit, satu mesin pompa ini akan emmakan kekuatan listrik hingga 16 KW.
“Kami melakukan berbagai pendekatan dengan stakeholder, termasuk PLN agar secara khusus bisa memasang infrastruktur listrik untuk menunjang distribusi air bersih ini. Kami sempat bernegosisasi juga hingga akhirnya disepakati menggunakan listrik ini dengan tarif sosial,” terang Suarjaya.
Saat ini, beberapa panel listrik masih akan dimaksimalkan seiring dengan penyempurnaan infrastruktur proyek air bersih ini.
Kedepan, masing-masing desa telah menyiapkans umber daya manusianya untuk mengelola manajemen air bersih tersebut. Di Cempaga sendiri, Suarjaya mengaku air bersih nini nantinya akan dikelola oleh BUMdes dengan tarif yang bisa dijangkau oleh masyarakat Desa Cempaga.
“Di bak penampungan pusat dikelola oleh dua desa dengan dasar kesepakatan atau MoU, namun di bak terakhir aliran air terdistribusi ke masing-masing desa dan itu tanggungjawab dari masing-masing desa,kalau di Cempaga nanti akan dikelola oleh BUMdes,” kata Suarjaya.
Setelah pemasangan pipa pinduk ini, Suarjaya menjelaskan Pemkab Buleleng sudah menyekapaki untuk memberikan bantuan 200 SR (sambungan rakyat) setiap desa bagi dua desa sehingga aliran air bisa langsung masuk ke pemukiman warga.
“Program ini masih jauh dari kata sempurna, masih perlu hal-hal lain yang harus dibangun, dan kami akan terus berjuang untuk air bersih ini,” pungkas Suarjaya.