Ngaben merupakan upacara kremasi atau pembakaran jenazah di Bali, Indonesia. Upacara adat Ngaben merupakan sebuah ritual yang dilakukan untuk mengirim jenazah pada kehidupan mendatang. Dalam upacara ini, jenazah diletakkan dengan posisi seperti orang tidur. Keluarga yang ditinggalkan pun akan beranggapan bahwa orang yang meninggal tersebut sedang tertidur. Dalam upacara ini, tidak ada air mata karena mereka menganggap bahwa jenazah hanya tidak ada untuk sementara waktu dan menjalani reinkarnasi atau akan menemukan peristirahatan terakhir di Moksha yaitu suatu keadaan dimana jiwa telah bebas dari reinkarnasi dan roda kematian. Upacara ngaben ini juga menjadi simbol untuk menyucikan roh orang yang telah meninggal.
Dalam ajaran agama Hindu, jasad manusia terdiri dari badan halus (roh atau atma) dan badan kasar (fisik). Badan kasar dibentuk oleh lima unsur yang dikenal dengan Panca Maha Bhuta. Kelima unsur ini terddiri dari pertiwi (tanah), teja (api), apah (air), bayu (angin), dan akasa (ruang hampa). Lima unsur ini menyatu membentuk fisik dan kemudian digerakkan oleh roh. Jika seseorang meninggal, yang mati sebenarnya hanya jasad kasarnya saja sedangkan rohnya tidak. Oleh karena itu, untuk menyucikan roh tersebut, perlu dilakukan upacara Ngaben untuk memisahkan roh dengan jasad kasarnya.
Tujuan upacara ngaben
Secara garis besarnya Ngaben adalah untuk memproses kembalinya Panca Mahabhuta di alam besar ini dan mendampingi Atma (Roh) ke alam Pitra dengan memutuskan keterikatannya dengan badan duniawi itu. Dengan memutuskan kecintaan Atma (Roh) dengan dunianya, Ia bakal bisa kembali pada alamnya, yakni alam Pitra. Kemudian yang menjadi tujuan upacara ngaben adalah supaya ragha sarira (badan / Tubuh) cepat bisa kembali terhadap asalnya, yaitu Panca Maha Bhuta di alam ini dan Atma bisa selamat bisa berangkat ke alam pitra.
Ada suatu buku yang berjudul ”108 Mutiara Veda” Terbitan tahun 2001, cocoknya di halaman 107, ada tersurat yang dikutip dari: Yajurveda: 40-15. Dalam bukit itu disebutkan bahwa;
Jadi dalam kitab suci veda samhita, dalam faktor ini kitab yajurveda ada tersurat bahwa setiap orang (Hindu) yang meninggal mayatnya wajib dibangun menjadi abu supaya atmanya mencapai moksa. Tapi apakah dengan upacara ngaben langsung bisa mencapai surga alias moksa? Apabila menurut kami semacamnya itu belum tentu. Bisa dilihat pada Kutipan dari Yajurveda diatas pada kalimat terbaru. “Ingatlah lakukananmu” pastinya ketika kami telah meninggal kami bakal mempertanggung jawabkan lakukanan kami semasa nasib. Apakah layak alias tidaknya untuk mencapai surga ataupun moksa.
Pelaksanaan ritual upacara ngaben
Ngaben adalah upacara yang besar dan pastinya itu memerlukan anggaran yang ketidak sedikitan. Bagaimanakah bagi mereka yang tak lebih mampu? Agama Hindu fleksibel dan pastinya ada kebijakan-kebijakan tentang kondisi demikian. Biasanya diadakannya ngaben massal yang pasti dari sisi anggaran bakal lebih mengurangi. Dan dari beberapa penelusuran terhadap beberapa lontar di Bali, ngaben nyatanya tak rutin besar. Ada beberapa tipe ngaben yang justru sangat sederhana. Ngaben-ngaben tipe ini antara lain Mitrayadnya, Pranawa dan Swasta. Tetapi demikian, tersedia juga beberapa tipe upacara yang termasuk besar, semacam sawa prateka dan sawa wedhana. Berikut Tipe – tipe Ngaben Sederhana :
Mendhem Sawa
Mendhem sawa berarti penguburan mayat. Di muka dijelaskan bahwa ngaben di Bali tetap diberbagi peluang untuk ditunda sementara, dengan argumen beberapa faktor semacam yang telah diuraikan. Tetapi diluar itu tetap ada argumen yang bersifat filosofis lagi, yang didalam naskah lontar belum diketemukan. Mungkin saja argumen ini dikarang yang dikaitkan dengan landasan alias latar belakang filosofis adanya kenasiban ini. Alasannya adalah supaya ragha sarira yang berasal dari unsur prthiwi sementara bisa merunduk pada prthiwi dulu. Yang dengan cara ethis dilukiskan supaya mereka bisa mencium ibu prthiwi. Tetapi butuh diingatkan bahwa pada prinsipnya setiap orang mati wajib segera di aben. Bagi mereka yang tetap memerlukan waktu menantikan sementara maka sawa (jenasah) itu wajib di pendhem (dikubur) dulu. Dititipkan pada Dewi penghuluning Setra (Dewi Durga).
Ngaben Mitra Yajna
Ngaben Mitra Yajna Berasal dari kata Pitra dan Yajna. Pitra artinya leluhur, yajna berarti korban suci. Istilah ini dipakai untuk menyatakan tipe ngaben yang diajarkan pada Lontar Yama Purwana Tattwa, sebab tak disebutkan namanya yang pasti. Ngaben itu menurut ujar lontar Yama Purwana Tattwa adalah Sabda Bhatara Yama. Dalam warah-warah itu tak disebutkan nama tipe ngaben ini. Untuk membedakan dengan tipe ngaben sedehana lainnya, maka ngaben ini diberi nama Mitra Yajna. Pelaksanaan Atiwa-atiwa / pembakaran mayat ditetapkan menurut ketentuan dalam Yama Purwana Tattwa, khususnya tentang upakara dan dilaksanakan di dalam tujuh hari dengan tak memilih dewasa (hari baik).
Pranawa Pranawa
Pranawa Pranawa adalah aksara Om Kara. Adalah nama tipe ngaben yang mempergunakan huruf suci sebagai simbol sawa. Dimana pada mayat yang telah dikubur tiga hari sebelum pembakaran mayat diadakan upacara Ngeplugin alias Ngulapin. Pejati dan pengulapan di Jaba Pura Dalem dengan sarana bebanten untuk pejati. Ketika hari pembakaran mayat jemek dan tulangnya dipersatukan pada pemasmian. Tulangnya dibawah jemeknya diatas. Kemudian berlsaya ketentuan semacam amranawa sawa yang baru meninggal. Ngasti hingga ngirim juga sama dengan ketentuan ngaben amranawa sawa baru meninggal, semacam yang telah diuraikan.
Pranawa Bhuanakosa
Pranawa Bhuanakosa adalah aliran Dewa Brahma terhadap Rsi Brghu. Dimana Ngaben Sawa Bhuanakosa bagi orang yang baru meninggal mesikipun sempat ditanam, disetra. Kalau mau mengupakarai sebagai jalan dengan Bhuanakosa Prana Wa.
Swasta
Swasta artinya lenyap alias hilang. Adalah nama tipe ngaben yang sawanya (mayatnya) tak ada (tan kneng hinulatan), tak bisa dilihat, meninggal didaerah kejauhan, lama di setra, dan lain-lainnya, semuanya bisa dilsayakan dengan ngaben tipe swasta. Mesikipun orang hina, biasa, dan uttama sebagai badan (sarira) orang yang mati disimbolkan dengan Dyun (tempayan) sebagai kulit, benang 12 iler sebagai otot, air sebagai daging, balung cendana 18 potong.
Pranawa sebagai suara, ambengan (jerami) sebagai pikiran, Recafana sebagai urat, ongkara sebagai lingga nasib. Tiga hari sebelum pembakaran mayat diadakan upacara ngulapin, bagi yang meninggal di kejauhan yang tak diketahui dimana tempatnya, upacara pengulapan, bisa dilsayakan diperempatan jalan. Dan bagi yang lama di pendhem yang tak bisa diketahui bekasnya pengulapan bisa dilsayakan di Jaba Pura Dalem.
Secara umum rangkaian pelaksanaan ritual upacara budaya ngaben ini sebagai berikut :
Ngulapin, Ngulapin bermakna sebagai upacara untuk terbuktigil Sang Atma. Upacara ini juga dilaksanakan apabila yang bersangkutan meninggal di luar rumah yang bersangkutan (umpama di Rumah Sakit, dll). Upacara ini dilaksanakan tak sama sesuai dengan tata tutorial dan tradisi setempat, ada yang melaksanakan di perempatan jalan, pertigaan jalan, dan kuburan setempat.
Nyiramin atau Ngemandusin, Adalah upacara memandikan dan membersihkan jenazah, upacara ini biasa dilsayakan dihalaman rumah keluarga yangbersangkutan (natah). Pada prosesi ini juga disertai dengan pemberian simbol-simbol semacam bunga melati di rongga hidung, belahan kaca di atas mata, daun intaran di alis, dan perlengkapan lainnya dengan tujuan mengembalikan kembali manfaat-manfaat dari tahap tubuh yang tak dipakai ke asalnya, dan apabila roh mendiang mengalami reinkarnasi kembali supaya dianugrahi badan yang lengkap (tidak cacat).
Ngajum Kajang, Kajang adalah selembar kertas putih yang ditulisi dengan aksara-aksara magis oleh pemangku, pendeta alias tetua budaya setempat. Seusai berakhir ditulis maka para kerabat dan keturunan dari yang bersangkutan bakal melaksanakan upacara ngajum kajang dengan tutorial menekan kajang itu setidak sedikit 3x, sebagai simbol kemantapan hati para kerabat melepas kepergian mendiang dan menyatukan hati para kerabat jadi mendiang bisa dengan cepat melsayakan perjalanannya ke alam selanjutnya.
Ngaskara, Ngaskara bermakna penyucian roh mendiang. Penyucian ini dilsayakan dengan tujuan supaya roh yang bersangkutan bisa bersatu dengan Tuhan dan bisa menjadi pengajar kerabatnya yang tetap nasib di dunia.
Mameras, Mameras berasal dari kata peras yang artinya berhasil, berhasil, alias berakhir. Upacara ini dilaksanakan apabila mendiang telah mempunyai cucu, sebab menurut keyakinan cucu tersebutlah yang bakal menuntun jalannya mendiang melewati doa dan karma baik yang mereka lsayakan.
Papegatan, Papegatan berasal dari kata pegat, yang artinya putus, makna upacara ini adalah untuk memutuskan hubungan duniawi dan cinta dari kerabat mendiang, sebab kedua faktor tersebut bakal menghalangi perjalan sang roh menuju Tuhan. Dengan upacara ini pihak keluarga berarti telah dengan cara ikhlas melepas kepergian mendiang ke tempat yang lebih baik. Sarana dari upacara ini adalah sesaji (banten) yang disusun pada suatu lesung batu dan diatasnya diisi dua cabang pohon dadap yang dibentuk semacam gawang dan dibentangkan benang putih pada kedua cabang pohon tersebut. Nantinya benang ini bakal diterebos oleh kerabat dan pengusung jenazah sebelum keluar rumah hingga putus.
Pakiriman Ngutang, Seusai upacara papegatan maka bakal dilanjutkan dengan pakiriminan ke kuburan setempat, jenazah beserta kajangnya kemudian dinaikan ke atas Bade/Wadah, yaitu menara pengusung jenazah (hal ini tak utama wajib ada, bisa diganti dengan keranda biasa yang disebut Pepaga). Dari rumah yang bersangkutan anak buah masyarakat bakal mengusung semua perlengkapan upacara beserta jenazah diiringi oleh suara Baleganjur (gong khas Bali) yang bertalu-talu dan bersemangat, alias suara angklung yang terlihat kecewa. Di perjalan menuju kuburan jenazah ini bakal diarak berputar 3x berlawanan arah jarum jam yang bermakna sebagai simbol mengembalikan unsur Panca Maha Bhuta ke tempatnya masing-masing. Tidak hanya itu perputaran ini juga bermakna: Berputar 3x di depan rumah mendiang sebagai simbol perpisahan dengan sanak keluarga.
Ngeseng, Ngeseng adalah upacara pembakaran jenazah tersebut, jenazah dibaringkan di tempat yang telah disediakan, disertai sesaji dan banten dengan makna filosofis sendiri, kemudian diperciki oleh pendeta yang memimpin upacara dengan Tirta Pangentas yang bertindak sebagai api abstrak diiringi dengan Puja Mantra dari pendeta, seusai berakhir kemudian barulah jenazah dibakar hingga hangus, tulang-tulang hasil pembakaran kemudian digilas dan dirangkai lagi dalam buah kelapa gading yang telah dikeluarkan airnya.
Nganyud, Nganyud bermakna sebagai ritual untuk menghanyutkan segala kekotoran yang tetap tertinggal dalam roh mendiang dengan simbolisasi berupa menghanyutkan abu jenazah. Upacara ini biasanya dilaksakan di laut, alias sungai.
Makelud, Makelud biasanya dilaksanakan 12 hari seusai upacara pembakaran jenazah. Makna upacara makelud ini adalah membersihkan dan menyucikan kembali lingkungan keluarga dampak kekecewaan yang melanda keluarga yang ditinggalkan. Filosofis 12 hari kekecewaan ini diambil dari Wiracarita Mahabharata, saat Sang Pandawa mengalami masa hukuman 12 tahun di tengah hutan.